Di sebuah ruangan yang dipenuhi kesunyian, rindu demi rindu berlarian, air mata demi air mata berjatuhan. Entah dimulainya sejak kapan, cinta ini sepertinya sudah cukup lama aku pendam sendirian.
Sunyi sudah menjadi teman, sejak kutahu aku bagimu tak mungkin menjadi pasangan. Aku ingin kamu menginginkanku. Satu kalimat yang kemudian menguap seiring berlalunya waktu. Betapa menjadi yang tulus mencintai, menanti sepenuh hati, tetap saja bukan jaminan akan balas dicintai. Apakah cinta memang begini? Apakah cinta bisa setega ini, ataukah aku yang salah menangkap arahan Tuhan tentang rasa di hati?
Terkadang aku ingin cinta kita semudah membalikkan telapak tangan, namun kusadari bukan dengan sesingkat itu mimpi bisa terwujudkan. Terkadang aku ingin cinta menemukan tujuannya setelah lelah berjalan tanpa henti. Namun mungkin waktunya bukanlah saat ini. Mungkin tujuanku semestinya bukan kamu. Mungkin aku tidak perlu membuang waktu untuk terus menunggu.Sebut saja kedua mataku buta, yang tak juga menyadari ketika lampu merah ke arahmu sudah benar-benar menyala.
Bersandar pada ketetapan hati, aku terus menanti. Meski kutahu bukan aku alamat rumah yang hatimu cari. Cinta ini sudah terlanjur, dan yang tertinggal hanya serpihan hati yang hancur. Namun belum menyerah aku memperjuangkanmu, sebab belum ada lain hati yang mampu mengetuk pintu di dadaku.
Jika aku terus mengharapkanmu, bolehkah? Aku hanya ingin menjadi yang pintar mencintai, meski tak begitu fasih dalam ilmu memiliki. Sementara hati ingin menjadi satu-satunya yang kamu ingini, cinta pun berkata, ia tak ingin membenci. Tak apa aku bukan untukmu, tak apa kita tidak saling menuju. Tetap saja segala harap, semua rindu, setiap peluk bermuara padamu.
Jika boleh sekali saja tertawa untuk perjalanan yang entah kapan habisnya, bolehkah aku? Jika selamat tinggal adalah satu-satunya yang tersisa, ketahuilah bahwa selama ini kamu pernah menjadi sosok yang benar-benar aku cinta.
Mengagumi dari jarak sejauh ini adalah pintu bahagia yang kupilih.Dan semoga kelak, Tuhan akan memberiku kunci untuk pintu menuju bahagia yang lain: merelakanmu, misalnya.
Aku bukanlah siapa-siapa, tentu saja aku harus rela jika pada akhirnya kamu berjumpa dengan dia yang ditakdirkan semesta. Dan aku memang bukanlah siapa-siapa, justru itu yang membuatku harus menelan perihnya luka. Jika mencintai dalam diam adalah jarak terjauh yang mampu hatiku tuju, semoga secepatnya bahagia datang menujuku.
Aku tersenyum lemah pada bayanganku sendiri, seraya bertanya: Masih sanggup menanti? Tak lelahkah hati? Gaung namamu dalam bisu bibirku lebih nyaring daripada seluruh tanya itu. Dalam hati, cinta padamu terus mengaliri sepi.
0 komentar:
Posting Komentar