Bagaimana jika pada akhirnya akan ada seseorang yang menggantikan peranmu sebagai tokoh utama dalam ceritaku, namun yang aku inginkan masih tetap kamu?

Category: 0 komentar

Kemarilah, dan duduk sebentar. Ceritakan kepadaku, bagaimana rupa kesedihan dari sudut pandangmu itu.

Category: 0 komentar

Sejuta Kekaguman

Hai kamu, sang penculik kata, pengasup inspirasi, dan sumber kekagumanku..

Selamat ya. Lagi-lagi kamu berhasil menculik segala aksara yang telah tertata. Entah kenapa jika semesta menyodorkan namamu, aku selalu kehilangan kata-kata untuk menuturkannya. Karena terlalu banyak, karena telah beranakpinak dan berjuta-juta hal kecil tentangmu terus-terusan berdesak. Entah kenapa untuk memulai “Hai” saat kita dipertemukan saja membutuhkan berkilo-kilo keberanian untuk menghancurkan kegugupan. Meski sudah lama pertemanan yang unik ini ada, kekagumanku akan segala tentangmu tak bisa berkurang sesenti pun grafiknya. Kamu terlalu sempurna untuk ukuran idola. Kamu selalu bisa bolak-balik membuatku bersyukur untuk kejutan atas oleh-oleh dari tiap pertemuan.

Maaf, jika kadang aku bersembunyi dibalik tempat yang paling sepi saat menceritakan kekaguman ini. Mungkin aku takkan ramai menyuarakan kekaguman, tapi ketahuilah aku akan berada disana meski jadi sosok yang paling transparan. Mungkin kini kita lebih jarang berkomunikasi, jarang bertegur sapa di dunia nyata dan jarang berbagi cerita. Tapi aku masih mengetahui detil-detil tentangmu, masih menyediakan ruang besar untuk mengasup segala sesuatu yang berkaitan tentang kamu.

Surat ini adalah surat yang paling sulit dimulai dan yang paling sulit kutandai telah selesai. Karena masih kepadamulah sumber kekagumanku bermuara, surat ini hanya sebagian dari aksara yang terhimpit kegugupan untuk mengatakannya.
Category: 0 komentar
Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan. Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.

Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.

Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya.

Maaf  atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.

Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?

Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut.

Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan.
Pramesti laksmi
Category: 0 komentar
Siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis hingga tak jarang aku menangis? Aku sendirikah yang terlalu jahat memberi seutuhnya hati untuk rela disakiti? Atau dia yang tak mampu menjaga hatiku dengan hati-hati sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah aku salah lagi.

Dia memang tak pernah benar-benar mau memiliki. Cerita-cerita kita yang kukira akan sempurna, ternyata tak berakhir bahagia. Yang kutahu tentang masa depan itu kamu, tapi malah kamu yang menyuruhku untuk tetap berpijak saja pada masa lalu dan berhenti di situ.

Yang kutahu tentang perjuangan itu kita, tapi ternyata hanya aku yang berusaha. Bagaimana bisa? Bagaimana caranya membuatmu melihat apa yang kulihat sementara kita sama-sama telah buta akan tujuan yang berbeda? Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. 

Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan. Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.
Category: 0 komentar