Siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis hingga tak jarang aku menangis? Aku sendirikah yang terlalu jahat memberi seutuhnya hati untuk rela disakiti? Atau dia yang tak mampu menjaga hatiku dengan hati-hati sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah aku salah lagi.

Dia memang tak pernah benar-benar mau memiliki. Cerita-cerita kita yang kukira akan sempurna, ternyata tak berakhir bahagia. Yang kutahu tentang masa depan itu kamu, tapi malah kamu yang menyuruhku untuk tetap berpijak saja pada masa lalu dan berhenti di situ.

Yang kutahu tentang perjuangan itu kita, tapi ternyata hanya aku yang berusaha. Bagaimana bisa? Bagaimana caranya membuatmu melihat apa yang kulihat sementara kita sama-sama telah buta akan tujuan yang berbeda? Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. 

Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan. Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.
Category: 0 komentar

Halo, sahabatku♥


Halo, sahabatku..
apa kamu tau, sebenarnya kita adalah satu. Aku dan kamu yang selalu beradu rindu padahal setiap hari bertemu, atau aku dan kamu yang menyebar senyum hanya untuk dibagi setiap waktu.

Halo sahabatku..
Katanya kamu tidak tau apa itu sahabat, maka kuberitahu artinya..
adalah yang selalu mengingat setiap detik keburukan, lalu merubahnya menjadi suatu kebahagiaan.

Sederhana sahabatku..
Selalu memburuk resah saat gundah makin hebat meranah..
Lalu kita terbahak menikmati senja, kita yang selalu menertawakan diri karena tingkah anak muda yang tak bisa dicegah..
Saling menepuk pundak lalu menggenggam tangannya saat aku terjatuh. Kalau aku tidak mau bangun, maka kamu terduduk menjatuhkan diri, menemani sampai kita sama-sama merasa sunyi..
Sunyi sahabatku, bukan sepi.. 

Halo, sahabatku..
Aku bercerita ini itu, kadang sebenarnya kamu tidak tahu apa ceritaku
tapi kamu paham betul kapan harus mendengarkan, kapan harus berbicara, dan kapan harus erat menggenggam untuk saling menguatkan..

Halo, sahabatku..
meski ruang dan waktu tak dapat menghentikan langkahmu, lalu kita tak lagi jadi yang bisa berteriak berbagi peluh, jangan hentikan ceritamu
Sebab aku masih bisa mendengarnya meski tidak dengan gendang telingaku.
Sebut saja namaku, mungkin bisa sedikit mengurangi letih yang merambat pelan dalam nadi..

Halo, sahabatku..
Kalau nanti berubah menjadi selamat tinggal, maka itu hanya sebuah perpisahan kecil 
Sebab meski zaman berotasi, tak kan pernah merubah posisi
Aku dan kamu yang akan terus menjadi kita
Lalu aku dan kamu berbagi tawa lagi, nanti.. saat Tuhan mempertemukan kita kembali..

Terimakasih, sahabatku..
Walaupun terimakasih saja takkan cukup untuk mengganti tawa yang kau beri bertubi-tubi
atau, air mata yang menyeluruh saat kita sama-sama terjatuh..
Category: 0 komentar

Sepucuk surat (yang mungkin) cinta


Teruntuk yang tidak bisa kusebut namanya,

Memang ada beberapa kalimat tentang kita yang pada akhirnya kusimpan karena mulut tak sanggup untuk lebih banyak bicara. Beberapa rindu kudekap erat-erat, dengan harapan sebuah pelukan mampu meredam tangisan dan teriakannya yang begitu kuat. Beberapa senyum bahagia kusunggingkan dalam tunduk penuh malu, agar berpasang-pasang mata tidak akan ada yang tahu. Beberapa impian kutuliskan dalam buku catatan yang terkunci, supaya masih bisa kubaca berulang kali, hingga senyum-senyum sendiri. Beberapa potret wajahmu kuletakkan di bagian ponsel yang tidak terengkuh, biar cukup aku saja yang tahu bahwa aku memang sedang mengagumimu dari jauh. Beberapa pujian hanya kuungkapkan kepada Tuhan, sebab hanya kepadaNya aku bisa menyanjung sesering yang aku bisa dan hanya telingaNya yang siap menerima segala pengakuan.

Pada akhirnya nanti, entah sebuah perasaan akan terungkap atau justru begitu saja lenyap. Pada akhirnya nanti, entah kita akan bertemu atau justru tak ada kesempatan lagi untuk mimpi itu. Tapi sebelum dan sesudahnya, ketahuilah sesuatu:

Aku cinta yang tanpa terungkap oleh kata-kata. Aku cinta yang tanpa ingin tertangkap oleh sepasang mata. Aku cinta dan hanya bisa menunjukkannya lewat kiriman doa-doa. Aku cinta dan enggan membubuhinya dengan banyak tanya. Aku cinta yang tidak mau terlalu banyak melahirkan asa. Karena kita hanyalah sepasang yang pada akhirnya tidak bisa. Tapi tak apa, yang penting aku cinta. Dan semoga saja itu cukup.

Category: 0 komentar

Pergi dan berbahagialah

Teruntuk yang sela-sela jemarinya tak lagi hanya berupa udara,

Bukan hal yang mudah untuk tetap meyakinkan diri sendiri, bahwa kamu masih mungkin untuk dimiliki. Bukan hal yang mudah ketika ingin terus melangkah, saat jalan tak lagi temukan arah. Bukan hal yang mudah untuk melepaskan, meski kenyataannya memiliki pun tidak. Bukan hal yang mudah untuk membiarkan jejak-jejak kakimu hanya tinggal bekas, lalu kamu menujunya dengan harapan yang tanpa batas.

Pencinta diam-diam mungkin ialah orang-orang yang bisa bermimpi dengan terlalu tinggi, namun bisa juga tersungkur bebas dan membiarkan air mata mengalir dengan deras. Mereka bisa berbahagia lalu diserang impian milik mereka sendiri. Mereka berkawan akrab dengan angan-angan yang barangkali memang ketinggian. Mereka setengah mati mengukir senyum pada lapisan-lapisan kesedihan paling dalam. Mereka menghidupi mimpi-mimpi sendiri, lalu menghibur diri dengan cara yang sama.

Entah mengapa menjadi sesulit itu untuk membiarkanmu pergi, meski pada awalnya, aku pun tahu pasti kamu tidak akan pernah berada di sisi. Entah mengapa menjadi sesulit itu untuk membiarkanmu dengan yang lain, meski sejak awal aku tahu dengan pasti bahwa kita hanyalah tidak mungkin. Entah mengapa menjadi sesulit itu  untuk menyeka air mata sendiri, meski selama ini pun aku melakukan segala sesuatunya dengan mandiri.

Pada akhirnya, bahagia adalah apa yang akan aku minta pada Sang Maha. Meski akhirnya, bukan dengan aku kamu akan mengukirnya. Pada akhirnya, ada hati kecil yang selalu berupaya untuk menerima, dan semoga kamu senantiasa baik-baik saja.

Suatu hari nanti, ketahuilah sesuatu, bahwa aku pernah dengan diam-diam mencintaimu.

Dari yang mengagumi namun dengan sembunyi-sembunyi,
Aku.
Category: 0 komentar
Hari ini tak ada yang berbeda, semua masih serba serupa. Aku yang masih mengingat dan menginginkan kita, serta kamu yang masih jauh di mata, namun hatiku belum sanggup mengakhiri semua cerita.Jika boleh, aku ingin meminta, sisakan untukku cintamu itu. Jangan percuma kamu berikan pada mereka yang tak lebih menginginkannya daripada aku.


Bukannya aku tak pernah menghindar, tapi kamu selalu tiba dan menahanku untuk keluar. Kadang aku heran dengan teka-teki yang Tuhan berikan. Jika memang ujungnya kita tak bersama, mengapa Tuhan masih memberikan temu yang bernyawa membangitkan angan-angan untuk bersatu? 


Hati sudah terlalu sakit diberikan resep-resep palsu untuk berhenti mencintaimu. Entah siapa yang bisa mengajariku mengentikan rasa itu.

Yang aku ingin hanya bisa mengikhlaskan, jika melupakan begitu mustahil dilakukan. Yang aku harap hanya bahagia yang kembali nyata, meski harus dilalui tanpa sebuah ‘kita’.


Aku hanya ingin menjadi yang pernah mencicipi rasanya mencintai tanpa harus dapat kembali. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya perempuan yang masih bisa bersyukur tanpa mengukur-ukur apa yang seharusnya kau berikan secara teratur.


Setidaknya kau bisa merasa, mana yang seharusnya kau perjuangkan. Aku yang mencintaimu tanpa mengharap imbalan atau sesosok lain yang selalu menyumbang kepahitan.

Terima kasih karena kamu sudah mengajariku bertahan dari rasa-rasa pahitnya cinta. Setidaknya dulu aku tak sedewasa ini.


Terima kasih, untuk menjadi alasan atas segala perubahan yang ada selama ini. Maaf, untuk segala terima kasih yang belum juga terucap hingga kini.
Category: 0 komentar
Tak bisakah sekali saja kau melihat makna tesirat yang ada dalam tatapan mataku? 
Aku memang membingungkan. Aku ingin kamu tahu apa yang aku rasakan, tapi entah mengapa aku tak punya sedikit saja nyali untuk mengungkapkannya. Berilah aku satu tanda tentang perasaanmu kepadaku. Aku tahu kita hanya kisah yang direka. Seluruh kata disunia ini tak cukup untuk mnegutarakan perasaanku padamu. Dimataku kau tampak selalu sempurna. Hingga malam ke 1001, torehkanlah sedikit tinta cinta dihatiku. Seluruh memori otakku penuh akan kisahmu. 

Tak bisa kualihkan pandanganku dari indahnya ciptaan Tuhan pada wajahmu. Indra penciumanku hanya bisa mendengar aroma tubuhmu. Sekali lagi berilah aku suatu tanda, agar aku tak mencintaimu dalam diam dan kau tetap dalam ketidaktauan.



Tika 
Category: 0 komentar

Hanya Berani memendam tanpa berani berucap

Aku adalah sepenggal kisah yang ada dihidupmu, aku yang selalu menemani disaat kamu susah, sedih, dan senang. Aku selalu mencoba menjadi wanita yang tegar dan selalu ceria. Keceriaanku akan kubagi kepada setiap orang yang membutuhkan karena aku yakin mereka juga akan merasakan kebahagiaan.

Kesabaranku ada batas akhirnya, aku bukanlah robot yang dapat menahan rasa kecewa dan sakit hati. Akuu hanya ingin dimengerti, aku juga ingin menjadi seorang wanita yang disayang oleh kalian. Sikap kalian sudah mengajarkanku arti kesabaran, tapi tidak mengajarkanku arti menghargai dan menjaga perasaan orang lain. Aku sudah merasakan sakit hati ini dan kecewa. Luka dihati ini rasanya sakit dan tak dapat disembuhkan lagi. Aku hanya ingin disayang oleh kalian. Tolong sayangi aku, sayang kalian berarti untukku.



Mutiara Qulbi
Category: 0 komentar

Aku yang ahli berpura-pura, atau kamu yang terlalu ahli menanamkan luka?

Rupanya bepura-pura tak semudah yang kukira. Kusuruh hati menyabarkan diri, meski dengan cara itu juga ia melukai. Aku tak mau menyebut ini perasaan rahasia, meski memang ada hatiku yang diam-diam telah tersia-sia.

Pilihanku sepertinya hanya ada dua, pilih luka dengan menutup mata berpura tidak ada apa-apa atau luka dengan membeberkan semuanya? Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti.

Maka biar rasa ini kutelan pelan-pelan. Biar sedih ini aku saja yang merasakan, sebab luka tak semestinya kubagi-bagikan. Entah sudah berapa tetes air mata yang seharusnya kutahan, namun aku paling piawai dalam mengekspresikannya dengan senyuman.

Bukankah sebagian daripada hidup ini adalah sandiwara? Dan untuk kali ini, akulah sang pemeran utama. Ada sedih yang kupendam rapat-rapat. Ada pedih yang kugenggam erat-erat. Hingga mereka pikir aku adalah sosok yang kuat. Nyatanya tidak.

Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai runtuh. Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai meretak, dan mungkin sebentar lagi akan hancur. Ada sakit hati yang tertahan, dan entah kapan akan tersalurkan.

Di layar kaca penuh pura-pura ini tersusun skenarioku tersenyum bahagia. Di antara tak rela juga tak tega. Aku sudah terbiasa menahan tangis sambil tersenyum manis. Kamu tidak pernah tahu bukan?

Aku tak pernah menyangka bahwa tak perlu banyak belajar untuk menjadi aktor sandiwara. Cukup beri betubi-tubi luka, dengan kesabaran sebagai topengnya. Lalu dialog meyakinkan dan senyum selebar-lebarnya. Bukan bermaksud menjadi yang palsu dihadapanmu. Hanya saja, aku terlalu takut menemui kenyataan yang tak sesuai inginku.

Tidak semuanya tahu bahwa ada isak yang kuendap dalam diam.Karena ketika mereka tahu pun, belum tentu mereka peduli. Hanya kepada Sang Maha, tangisku tercurah tanpa sandiwara. Dan hanya kepadaNya, aku tahu bahwa pura-puraku hanyalah sia-sia.

Aku terluka, tapi Tuhan tak buta. Dia melihat apa yang tersembunyi dibalik hati. Tak ada yang bisa membohongi, meski kubilang tak apa ratusan kali. Berserah kepadaNya, biarlah Dia yang mengambil alih posisi nahkoda dalam setiap cerita. Bahagia pasti punya jalurnya, akupun ada di dalam alurnya. Ya aku percaya.

Hanya ada dua alasan mengapa seseorang tersenyum; 1. Ia memang benar-benar sedang bahagia, 2. Ia sudah terlalu lelah merayakan pahitnya hidup dengan duka.

Jadi, kamu itu sebenarnya yang mana?


Category: 0 komentar
Tak banyak yang berubah dari pertemuan kita tempo hari. Kita masih saling bertegur sapa. Kita masih saling mencuri pandang. Kita masih saling mengetahui bahwa ada yang belum selesai di antara kita; perasaanku. Padahal sudah kucoba menguburnya secermat mungkin, bahkan dari ingatanku sendiri. Namun, kehadiranmu yang selalu tertangkap kamera hati, tak mungkin bisa kupungkiri. 

Ada yang selalu tertangkap mata, dan di dalam jangkauannya kamu selalu ada. Ada yang selalu terdeteksi indera penciuman, dan segalanya hanya tentang harum tubuhmu yang tak mampu terlupakan. Entah apa maksud di balik pertemuan yang selalu disuguhkan semesta, hingga aku selalu mampu dibuatnya bertanya-tanya. Jikalau ini semua hanyalah kebetulan, mengapa frekuensi pertemuan kita tampak terlalu berlebihan? 

Tentang kebetulan-kebetulan yang seperti disengaja Tuhan, kuharap, ini bukan sebatas perasaanku saja. Salahkah aku, jika mendoakan ada percikan rasa tumbuh lagi di antara aku dan kamu? Salahkah aku, jika terus menginginkan temu tanpa jemu? Salahkah aku, jika hanya denganmu aku merasa seperti itu?

Sungguh, aku ingin berhenti sampai di sini. Ingin berpindah ke lain hati. Ingin menemukan bahagiaku sendiri. Sebab, jika pandangan terus tertutup oleh bayangmu, tak pernah sempurna cinta mampu kumiliki.

Mungkin salah satu dari kita harus ada yang mengalah. Aku yang seharusnya berbalik arah, atau kamu yang menujuku selangkah demi selangkah.

Jika semesta benar-benar mendukungku untuk pindah ke lain hati, mengapa sosok yang begitu sering kutemui hanyalah kamu lagi?

Sudah kucoba tahu diri, menghilang dari segala sudut pandanganmu yang gemar mencari-cari. Agar kamu tak perlu memberiku asa lagi, dan aku tak perlu menyembunyikan rasa lagi. Namun, takdir berkata lain.

Sebetulnya percuma jika aku berharap mampu memutar detik waktu, maka biarkan aku berdoa agar perasaanku tak melulu ingin terus menunggu dan menujumu. Aku ingin kamu, namun jika ternyata rasamu tak cukup kuat untuk membuat aku dan kamu menjadi kita, aku bisa apa? 

Pergilah kamu, tutupi hadirmu dari kunjungan pandang mataku. Biar debur dalam dada ini tenang. Biar isi kepala ini berhenti sibuk mengenang. Biar suatu hari, jika kita dipertemukan lagi, aku telah menjadi aku yang kuat; yang tidak kepadamu lagi rasa ini terikat.

~Pramesti laksmi


Category: 0 komentar